Senin, 21 Maret 2011

hakikat konseling lintas budaya


Istilah "cross-cultural studies" muncul dalam ilmu-ilmu sosial pada tahun 1930-an yang terinspirasi oleh cross-cultural survey yang dilakukan oleh George Peter Murdock, seorang antropolog dari Universitas Yale. Istilah ini pada mulanya merujuk pada kajian-kajian komparatif yang didasarkan pada kompilasi data-data kultural. Namun istilah itu perlahan-lahan memperoleh perluasan makna menjadi hubungan interaktif antar individu dari dua atau lebih kebudayaan yang berbeda (Wikipedia, 2008c). Dalam konteks pengertian pertama, penelitian lintas budaya merupakan kajian dalam berbagai bidang ilmu yang dilakukan dengan cara membandingkan berbagai unsur beberapa kebudayaan. Kajian perbandingan di bidang politik, ekonomi, komunikasi, sosiologi, teori media, antropologi budaya, filsafat, sastra, linguistik dan musik (ethnomusicology) merupakan beberapa bentuk kajian dalam konteks ini. Dalam konteks pengertian kedua, penelitian lintas budaya diarahkan pada kajian tentang berbagai bentuk interaksi antara individu-individu dari berbagai kelompok budaya yang berbeda. Kajian lintas budaya dalam perspektif ini mengambil interaksi manusia sehari-hari sebagai bagian dari budaya yang perlu dicermati karena, sebagaimana halnya dengan pemahaman antropologis yang memandang budaya sebagai keseluruhan cara hidup (way of life). Oleh karena itu, unsur-unsur kebudayaan yang perlu diteliti seharusnya tidak hanya yang ‘spektakuler’saja. Hal-hal yang biasa dilakukan, dirasakan, dibicarakan, didengar, dilihat, maupun dialami dalam interaksi sehari-hari oleh dua atau lebih individu dengan latarbelakang kebudayaan berbeda merupakan wilayah amatan cross-cultural studies. Kajian lintas budaya kontemporer cenderung termasuk ke dalam "cross-cultural studies" dengan makna kedua di atas.
Penggunaan kata majemuk ‘studies’ dalam penamaan crosscultural studies menyiratkan sikap dan ‘positioning’ para penggagas yang tidak puas terhadap kondisi ilmu pengetahuan di era modern yang terkotak-kotak dan saling mengklaim kebenaran. Padahal lambat laun disadari bahwa kebenaran yang dihasilkan disiplin ilmu pengetahuan secara sendiri-sendiri bersifat parsial dan tidak mampu menjawab persoalan-persoalan di kalangan masyarakat secara komprehensif. Kondisi inilah yang mendorong ilmuwan memasukkan kontribusi teori maupun metode dari berbagai disiplin ilmu yang dipandang strategis untuk memahami fenomena-fenomena kultural dalam realita kehidupan masyarakat manusia maupun representasinya yang dipandang krusial dalam kehidupan masyarakat. Wikipedia (2008d) menyatakan:
Cultural studies is an academic discipline which combines political economy, communication, sociology, social theory, literary theory, media theory, film/video studies, cultural anthropology, philosophy, museum studies and art history/criticism to study cultural phenomena in various societies. Cultural studies researchers often concentrate on how a particular phenomenon relates to matters of ideology, nationality, ethnicity, social class, and/or gender.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar