Minggu, 27 Maret 2011

MODIFIKASI PERILAKU-KOGNITIF


Meichenbaum (dalam Kanfer & Goldstein, 1986) menyatakan bahwa tidak mudah untuk menjelaskan definisi modifikasi perilaku-kognitif. Modifikasi perilaku-kognitif merupakan teknik menggabungkan terapi kognitif dan bentuk modifikasi perilaku (Meichenbaum dalam Kanfer dan Goldstein, 1986). Di dalam modifikasi perilaku-kognitif terdapat berbagai macam prosedur, termasuk di dalamnya misalnya terapi kognitif, terapi emotif rasional, latihan penurunan stress, latihan pengelolaan
kecemasan, kontrol diri, dan latihan instruksi diri.
lndividu sebelum bertindak, biasanya didahului oleh proses berpikir, sehingga bila ingin mengubah suatu perilaku yang tidak adaptif, terlebih dahulu harus memahami aspek-aspek yang berada dalam pengalaman kognitif dan usaha untuk membangun perilaku adaptif melalui mempelajari ketrampilan-ketrampilan yang terdapat pada terapi perilakuan (Meichenbaum & Goldstein, 1986).
Meichenbaum (dalam Ivey, 1993) menekankan interaksi antara manusia dan lingkungan. Perilaku terjadi secara resiprok dipengaruhi oleh pemikiran, perasaan, proses fisiologis dan konsekuensi perilaku. Modifikasi perilaku-kognitif merupakan bentuk terapi yang ingin melihat bahwa individu tidak hanya dipahami melalui perilaku yang tampak saja seperti yang dilihat oleh pihak perilakuan (behaviorist), namun dibalik tingkah laku yang tampak terdapat proses internal yang sebenarnya merupakan hasil pemikiran kognisi.
Meichenbaum yang merupakan seorang tokoh yang berpengaruh di dalam modifikasi perilaku-kognitif (Ivey, 1993) mengemukakan pandangannya bahwa modifikasi perilaku-kognitif dilakukan berkenaan untuk menolong klien mendefinisikan problem kognitif dan perilakunya, dengan mengembangkan kognisi, emosi, perubahan perilaku dan mencegah kambuh kembali.
Adapun asumsi yang mendasari modifikasi perilaku kognitif adalah:
1. Kognisi yang tidak adaptif mengarah pada pembentukan tingkah laku yang tidak adaptif pula
2. Peningkatan diri yang adaptif dapat ditempuh melalui peningkatan pemikiran yang positif
2. Klien dapat mempelajari peningkatan pemikiran mengenai sikap, pikiran, dan tingkah laku.
Jadi, dari penjelasan di atas, secara singkat modifikasi perilaku-kognitif dapat diartikan sebagai suatu teknik yang secara simultan berusaha memperkuat timbulnya perilaku adaptif dan memperlemah timbulnya perilaku yang tidak adaptif melalui pemahaman proses internal yaitu aspek kognisi tentang pikiran yang kurang rasional dan upaya pelatihan ketrampilan coping yang sesuai.

A. Prinsip-prinsip Modifikasi Perilaku- Kognitif
Sebelum proses terapi dimulai, terapis perlu terlebih dahulu menjelaskan susunan terapi kepada subjek, yang meliputi penjelasan tentang sudut pandang teori modifikasi perilaku dan teori terapi kognitif terhadap perilaku yang tidak adaptif, prinsip yang melandasi prosedur modifikasi perilaku kognitif, dan tentang langkah-langkah di dalam terapi. Penjelasan ini penting perannya untuk meningkatkan motivasi individu dan menjalin kerjasama yang baik. Perlu pula dijelaskan bahwa fungsi terapis hanyalah sebagai fasilitator timbulnya perilaku yang dikehendaki, dan individu yang berperan aktif dalam proses terapi (Ivey, 1993). Oleh karena itu individu harus benar-benar terampil menggunakan prinsip-prinsip terapi kognitif dan modifikasi perilaku dengan masalah yang dialaminya, dan peran terapis penting dalam mengajak individu memahami perasaannya dan teknik terapi yang efektif untuk terjadinya perubahan perilaku yang dikehendaki.
Terkait dengan perlunya pemahaman tentang prinsip-prinsip modifikasi perilaku-kognitif, Meichenbaum (dalam Ivey, 1993) mengemukakan 10 hal yang harus diperhatikan seorang terapis dalam penggunaan modifikasi perilaku-kognitif, yaitu:
1. Terapis perlu memahami bahwa perilaku klien ditentukan oleh pikiran, perasaan, proses fisiologis, dan akibat yang dialaminya. Terapis dapat memasuki sistem interaksi dengan memfokuskan pada pikiran, perasaan, proses fisiologis, dan perilaku yang dihasilkan klien.
2. Proses kognitif sebenarnya tidak menyebabkan kesulitan emosional, namun yang menyebabkan kesulitan emosional adalah karena proses kognitif itu sendiri merupakan proses interaksi yang kompleks. Bagian penting dari proses kognisi adalah meta-kognisi yaitu klien berusaha untuk memberi komentar secara internal pada pola pemikiran dan perilakunya saat itu. Struktur kognisi yang dibuat individu untuk mengorganisasi pengalaman adalah personal schema. Terapis perlu memahami personal schema yang digunakan oleh klien untuk lebih mamahami masalah yang dialami klien. Perubahan personal schema yang tidak efektif adalah bagian yang penting dari terapi.
3.   Tugas penting dari seorang terapis adalah menolong klien untuk memahami cara klien membentuk dan menafsirkan realitas.
4.   Modifikasi perilaku-kognitif memahami persoalan dengan pendekatan psikoterapi yang diambil dari sisi rasional atau objektif.
5.   Modifikasi perilaku-kognitif ditekankan pada penjabaran serta penemuan proses pemahaman pengalaman klien.
6.   Dimensi yang cukup penting adalah untuk mencegah kekambuhan kembali.
7.   Modifikasi perilaku-kognitif melihat bahwa hubungan baik yang dibangun antara klien dan terapis merupakan sesuatu yang penting dalam proses perubahan klien.
8.   Emosi memainkan peran yang penting dalam terapi, untuk itu klien perlu dibawa ke dalam suasana terapi yang mengungkap pengalaman emosi.
9.   Terapis perlu menjalin kerjasama dengan pihak keluarga ataupun pasangan klien.
10. Modifikasi perilaku-kognitif dapat diperluas sebagai proses pencegahan timbulnya perilaku maladaptif.

B. Pengukuran Dalam Modifikasi Perilaku-Kognitif
Pengukuran merupakan hal yang penting dalam modifikasi perilaku-kognitif. Pengukuran yang cermat perlu dilakukan sebelum, selama, dan setelah terapi (Hersen & Bellack, 1977). Melalui pengukuran akan diperoleh data yang berguna untuk melakukan identifikasi, klasifikasi, prediksi, spesifikasi, dan evaluasi.
Terapis perlu mengidentifikasi faktor-faktor pada subjek yang dapat menjadi penghambat ataupun pendorong timbulnya perilaku subjek, aspek biologis, dan anatomis.
Setelah informasi diperoleh, terapis dapat melakukan klasifikasi perilaku yang tidak adaptif, dan perilaku yang adaptif. Prediksi yang dilakukan terutama terkait dengan kontrol yang bersifat terapiutik untuk munculnya perilaku adaptif.
Langkah selanjutnya adalah menentukan teknik serta tujuan yang ingin dicapai. Evaluasi dilakukan untuk mengetahui seberapa jauh efek pelatihan berpengaruh terhadap subjek.

C. Macam-macam Modifikasi Perilaku-Kognitif
Modifikasi perilaku-kognitif terdiri dari bermacam-macam teknik. Pada bagian ini akan dibahas teknik-teknik yang digunakan dalam penelitian ini.
(a)     Teknik relaksasi. Teknik ini dilakukan berdasar pada asumsi bahwa individu dapat secara sadar untuk belajar merilekskan otot-ototnya sesuai dengan keinginannya melalui suatu cara yang sistematis (Jacobson dalam walker dkk., 1981). Ada bermacam-macam teknik relaksasi, salah satunya yaitu teknik relaxation via letting go agar subjek mampu melepaskan ketegangan dan akhirnya mencapai keadaan tanpa ketegangan. Diharapkan subjek belajar menyadari ketegangannya dengan menegangkan otot-ototnya dan berusaha untuk sedapat mungkin mengurang dan menghilangkan ketegangan otot tersebut. Selain itu dilatihkan pula teknik differential relaxation yang mengajarkan kepada subjek ketrampilan untuk merilekskan otot-otot yang tidak mendukung aktivitas yang dilakukan, karena dalam keadaan cemas seluruh otot cenderung tegang, walau otot tersebut kurang berperan dalam aktivitas tertentu. Pada penelitian ini materi teknik relaksasi yang digunakan diambil dari materi relaksasi yang digunakan oleh Andajani (1990).
(b)     Teknik pemantauan diri. Teknik ini berfungsi sebagai alat pengumpul data sekaligus berfungsi terapiutik. Dasar pemikiran teknik ini adalah pemantauan diri terkait dengan evaluasi diri dan pengukuhan diri (Kanfer, dikutip Andajani,1990). Subjek memantau dan mencatat perilakunya sendiri, sehingga lebih menyadari perilakunya setiap saat. Beberapa langkah dalam teknik pemantauan diri adalah sebagai berikut: (a) mendiskusikan dengan subjek tentang pentingnya subjek memantau dan mencatat perilakunya secara teliti, (b) subjek dan terapis secara bersama-sama menentukan jenis perilaku yang hendak dipantau, (c) mendiskusikan saat-saat pemantauan dilaksanakan, (d) terapis menunjukkan pada subjek cara mencatat data, (e) role play Pemantauan diri hendaknya dilakukan untuk satu jenis perilaku dan relatif merupakan respon yang sederhana (Kanfer, 1975).
(c)     Teknik kognitif. Dasar pikiran teknik kognitif adalah bahwa proses kognitif sangat berpengaruh terhadap perilaku yang ditampakan oleh individu. Burns (1988) mengungkapkan bahwa perasaan individu sering dipengaruhi oleh apa yang dipikirkan individu mengenai dirinya sendiri. Pikiran individu tersebut belum tentu merupakan suatu pemikiran yang objektif mengenai keadaan yang dialami sebenarnya. Penyimpangan proses kognitif oleh Burns (1988) juga disebut dengan distorsi kognitif. Pemikiran Burns merupakan pengembangan dari pendapat Goldfried dan Davison (1976) yang menyatakan bahwa reaksi emosional tidak menyenangkan yang dialami individu dapat digunakan sebagai tanda bahwa apa yang dipikirkan mengenai dirinya sendiri mungkin tidak rasional, untuk selanjutnya individu belajar membangun pikiran yang objektif dan rasional terhadap peristiwa yang dialami.
Distorsi kognitif (Burns, 1988) yang dapat dialami oleh individu terdiri dari penyimpangan pemikiran-pemikiran dapat dipaparkan sebagai berikut:
1. Pemikiran "all or nothing” (Segalanva atau Tidak Sama Sekali). Pemikiran ini menunjuk pada kecenderungan individu untuk mengevaluasi kualitas pribadi diri sendiri dalam kategori 'hitam atau putih' secara ekstrim. Pemikiran 'bila saya tidak begini maka saya bukan apa-apa sama sekali" merupakan dasar dari perfeksionisme yang menuntut kesempumaan. Pemikiran ini menyebabkan individu takut terhadap kesalahan atau ketidaksempurnaan apapun, sehingga untuk selanjutnya individu akan memandang dirinya sebagai pribadi yang kalah total, dan individu akan merasa tidak berdaya.
2.   Over Generalization (terlalu menggeneralisasi). Individu yang melakukan pemikiran terlalu menggeneralisasi terhadap peristiwa yang dihadapinya maka individu tersebut menyimpulkan bahwa satu hal yang pernah terjadi pada dirinya akan terjadi lagi berulang kali, karena apa yang pernah terjadi sangat tidak menyenangkan, maka individu selalu senantiasa merasa terganggu dan sedih.
3.   Filter Mental. Pemikiran ini menunjuk kecenderungan individu untuk mengambil suatu hal negatif dalam situasi tertentu, terus memikirkannya, dan dengan demikian individu tersebut mempersepsikan seluruh situasi sebagai hal yang negatif. Dalam hal ini individu yang bersangkutan tidak menyadari adanya "proses penyaringan", maka individu lalu menyimpulkan bahwa segalanya selalu negatif. Istilah teknis untuk proses ini ialah "abstraksi selektif'.
4.   Mendiskualifikasikan Yang Positif. Suatu pemikiran yang dilakukan oleh individu yang tidak hanya sekedar mengabaikan pengalaman-pengalaman yang positif, tetapi juga mengubah semua pengalaman yang dialaminya menjadi hal yang negatif.
5. Jump into conclusion (loncatan ke kesimpulan). Individu melakukan pemikiran meloncat ke suatu kesimpulan negatif yang tidak didukung oleh fakta dari situasi yang ada. Dua jenis distorsi kognitifini adalah "membaca pikiran" dan "kesalahan peramal". Membaca pikiran yaitu individu berasumsi bahwa orang lain sedang memandang rendah dirinya, dan individu tersebut yakin akan hal ini sehingga dirinya sama sekali tidak berminat untuk mengecek kembali kebenarannya.
Kesalahan peramal yaitu kecenderungan individu untuk membayangkan sesuatu yang buruk akan terjadi, dan individu tersebut menganggap pemikirannya sebagai suatu fakta walaupun sama sekali tidak realistis.
6.   Pembesaran dan Pengecilan. Individu memiliki kecenderungan untuk membesar-besarkan atau mengecilkan hal-hal yang dialaminya di luar proporsinya. Pembesaran yaitu individu akan melebih-lebihkan kesalahan, ketakutan, atau ketidaksempurnaan dirinya. Pengecilan yaitu individu akan mengecilkan nilai dari kemampuan dirinya sehingga kemampuan yang dimilikinya tampak menjadi kecil dan tidak berarti. Jika individu membesar-besarkan ketidaksempurnaan dirinya serta memperkecil kemampuannya, maka individu akan merasa dirinya rendah dan tidak berarti.
7.   Penalaran Emosional. Individu menggunakan emosinya sebagai bukti untuk kebenaran yang dikehendakinya. Penalaran emosional akan menyesatkan sebab perasaan individulah yang menjadi cermin pemikiran serta keyakinannya, bukan kondisi yang sebenarnya.
8    Pernyataan "Harus". Individu mencoba memotivasi diri sendiri dengan mengatakan "Saya harus melakukan pekerjaan ini". Pernyataan tersebut menyebabkan individu merasa tertekan, sehingga menjadi tidak termotivasi. Bila individu menunjukkan pernyataan "harus" kepada orang lain, maka individu akan mudah frustasi ketika mengalami kenyataan yang tidak sesuai dengan harapannya.
9    Memberi Cap dan Salah Memberi Cap. Memberi cap pribadi berarti menciptakan gambaran diri yang negatif yang didasarkan pada kesalahan individu. Ini mernpakan bentuk ekstrim dari terlalu menggeneralisasi. Pemikiran dibalik distorsi kognitif ini adalah nilai individu terletak pada kesalahan yang dibuatnya, bukan pada kelebihan potensi dirinya. Salah memberi cap berarti menciptakan gambaran negatif didasarkan emosi yang dialami saat itu.
10 Personalisasi. Individu merasa bertanggung jawab atas peristiwa negatif yang terjadi, walaupun sebenarnya peristiwa bukan merupakan kesalahan dirinya. Jadi, individu memandang dirinya sebagai penyebab dari suatu peristiwa yang negatif, yang dalam kenyataan sebenarnya bukan individu yang harus bertanggung jawab terhadap peristiwa tersebut. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar